Kamis, 25 September 2008

Warga TOLAK Desa Wakumoro di Jadikan Kelurahan

Belum selesai polemik pemberhentian Kades Wakumoro, kini Pemkab Muna mulai menyusun rencana untuk merubah status Desa Wakumoro menjadi Kelurahan. Mendengar rencana tersebut, mayoritas masyarakat Desa Wakumoro menyatakan penolakan dan berjanji akan terus mempertahankan status Wakumoro sebagai Desa.
”Kami menolak kalau Desa Wakumoro dijadikan Kelurahan, karena hal itu tidak menguntungkan buat kami. Perubahan status Desa Wakumoro menjadi Kelurahan adalah skenario Pemda untuk menguasai aset-aset Desa Wakumoro yang sangat berharga terutama Pasar Desa dan Obyek Wisata Permandian Alam Air Tawar ”Fotuno Rete”. Masyarakat telah menyatakan tekad untuk tetap mempertahankan status desa karena perubahan status menjadi kelurahan adalah bentuk perampokan atas seluruh aset dan sumber daya alam milik desa...” komentar tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Desa Wakumoro.

Lagi pula menurut PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan mengisyaratkan adanya aspirasi masyarakat setempat. Jadi sepanjang masyarakat menolak, maka perubahan status desa menjadi kelurahan tidak bisa dilakukan. Tapi kalau Pemda tetap memaksakan, berarti benar bahwa pemerintahan yang berlaku di Muna adalah sama seperti kekaisaran Fir’aun, tidak ada hukum yang berlaku, yang dipatuhi adalah sabda sang Kaisar.

Sebagai gambaran bahwa Desa Wakumoro memiliki 2 aset penting dan strategis sebagai sumber utama pendapatan desa yaitu Pasar Desa yang menghasilkan ± 60 juta per tahun dan Obyek Wisata Permandian Fotuno Rete yang menyumbang sebesar ± 35 juta per tahun. Pendapatan tersebut baru bisa diukur dalan 1 tahun terakhir. Sebelumnya, sejak Desa Wakumoro terbentuk tahun 1998, hasil-hasil dari pasar desa dan obyek wisata Fotuno Rete tidak pernah jelas pengelolaannya. Pendapatan dari Oyek wisata permandian Fotuno Rete terutama diperoleh pada saat-saat musim liburan Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan tahun baru.

Tidak berhenti sampai pada rencana perubahan status desa Wakumoro menjadi Kelurahan, menghadapi musim lebaran tahun 2008 ini, Pemkab Muna sudah berencana untuk mengambil alih pengelolaan 2 aset desa tersebut (Pasar Desa dan Obyek Wisata Fotuno Rete). Namun hal tersebut secaa tegas mendapat resistensi dari masyarakat Desa Wakumoro.

“Kami dapat informasi bahwa Pemkab berencana akan melibatkan Polisi Pamong Praja dan Polres untuk memungut retribusi obyek wisata Fotuno Rete tahun ini, masyarakat sudah siap untuk menghadang rencana tersebut. Masyarakat sudah mulai membayangkan bahwa tragedi ”Kontu Berdarah” akan kembali terulang di Desa Wakumoro jika Pemkab tetap memaksakan kehendaknya untuk mengambil alih pengelolaan obyek wisata permandian Fotuno Rete”,...La Ode Kainu (Ketua BPD reformasi)

”...Tidak ada lagi tawar-menawar dan masyarakat sudah siap dengan segala konsekuensi apa-pun demi untuk mempertahankan warisan leluhurnya, jadi jangan coba-coba mengambil alih aset-aset desa kami. Biarkan kami sendiri yang mengurus dan mengelolanya sendiri untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga Desa Wakumoro...”ceramah Ibu Maulid (ketua PKK desa wakumoro)

Ditengah usaha untuk mewujudkan otonomi desa yang bertumpu pada potensi sumber daya sendiri, Pemkab Muna malah ingin mengambil alih pengelolaan aset-aset desa.

“...Mungkin Pemkab lagi kesulitan dana untuk membiayai pembangunan, karena sumber PAD sudah sangat terbatas, jadi mengambil alih pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi milik desa adalah salah satu cara untuk meningkatkan PAD, tapi jangan mimpi sumber daya alam milik Desa Wakumoro bisa di ambil alih oleh Pemkab...ujar Kadhafi.

Read More...

Rabu, 24 September 2008

JANJI BUBERNUR BUAT DESA BERNAMA BLOCK GRANT 100 Jt/DESA

Beberapa bulan yang lalu, saat kampanye pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara berlangsung, salah seorang kandidat/calon Gubernur mengumbar janji kepada rakyat yang antara lain adalah pendidikan dan kesehatan gratis serta pemberian dana bantuan bagi desa berupa dana ‘block grant’ sebesar 100 juta per desa. Mugkin saja dengan materi kampanye itu, Nur Alam, SE berhasil memikat hati para pemilih sehingga pada akhirnya H. Nur Alam terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008 – 2014.

Dalam sambutan peringatan HUT Sultra ke 44 beberapa waktu lalu, Gubernur Sultra H. Nur Alam SE tetap optimis bisa merealisasikan janji politiknya kepada desa. Ribuan kades pun menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Kehadiran pada kades se Sultra pada acara HUT Sultra kali ini memang diundang khusus oleh Gubernur sekaligus peluncuran program baru Pemerintah Propinsi Sultra bernama BAHTERAMAS, dimana salah satu program utamanya adalah pemberian dana block grant bagi desa dan kelurahan.

Janji pemberian bantuan bagi desa sebesar 100 juta per desa menjadi isu menarik bagi masyarakat maupun bagi Kepala Desa. Berbagai diskusi pun marak digelar, baik dalam forum-forum formal maupun informal. Salah satu pertanyaan menarik yang menjadi perbincangan banyak kalangan adalah dari mana dana itu akan diambil, bagaimana proses penyalurannya,

Di Sulawesi Tenggara terdapat lebih kurang 2000 desa/kelurahan. Sehingga total dana yang diperlukan untuk merealisasikan janji tersebut sebesar 2 triliun rupiah. Sementara hitung-hitungan APBD Sultra sangat terbatas dan dipastikan tidak akan sanggup memenuhi bantuan 100 juta per desa tersebut. Pro dan kontra baik di legislatif maupun di masyarakat pun terjadi. Bagi sebagian anggota legilatif, realisasi block grant itu tidak mungkin di alokasikan dalam APBD 2008, alasannya karena APBD yang terbatas, sementara alokasi APBD bukan hanya untuk desa. Tarik menarik antara eksekutif dengan legislatif berakibat pada APBD Sultra sampai saat ini masih bermasalah. Gubernur terpilih dengan segenap kekuatannya diparlemen terus berusaha untuk melakukan perombakan/revisi atas APBD Sultra tahun anggaran 2008 yang telah ditetapkan. Alasan perombakan awalnya karena dalam APBD 2008 terdapat banyak dana-dana siluman dan dana-dana titipan yang nilainya puluhan miliar rupiah. Namun oleh segelintir elit diparlemen, niat perombakan APBD tersebut ditentang habis, karena bisa jadi jika masalah tersebut terkuak, maka nasib para legislator yang menetapkan APBD itu terancan masuk bui.

Sejumlah anggota DPRD propinsi Sultra tetap bersikukuh untuk tidak melakukan revisi atas APBD 2008, tidak saja karena konsekuensi hukum, tapi juga dikhawatirkan akan terjadi perombakan atas sejumlah alokasi APBD. Secara politik revisi APBD akan menurunkan kepercayaan anggota DPRD di mata masyarakat. Sebab sejumlah proyek ‘politik’ yang sudah terlanjur di janjikan oleh anggota DPRD saat reses tahun 2007 lalu terancam di coret. Kondisi ini makin menyulitkan pihak eksekutif (Gubernur) untuk merealisasikan janji politiknya. Jadi sesungguhnya ada pertarungan politik antara lagislatif dan eksekutif untuk kepentingan politik pada pemilu legislatif 2009 mendatang.

Dipihak lain, Gubernur Sultra Nur Alam, SE juga menghadapi tekanan politik yang luar biasa besar dari konstituen pemilihnya, sebab janji politik itu telah menjadi agenda dan isu kampanye yang menarik simpatik rakyat. Secara politik, jika dana block grant untuk desa tidak direalisasikan tahun 2008 ini, akan menurunkan legitimasi seorang gubernur.

Tantangan lain terkait dengan dana block grant 100 juta per desa itu kemudian merambat ke tingkat Kabupaten. Hai itu terkait dengan mekanisme penyaluran dan pertanggung jawaban pihak desa atas dana tersebut. Salah satu Kabupaten yang masih mempersoalkan dana block grant tersebut adalah Kabupaten Muna. Pemkab Muna memberikan penekanan khusus pada mekanisme pencairan dana tersebut. Menurut informasi yang kami dapatkan dari pihak pemerintah propinsi bahwa dana tersebut akan disalurkan langsung ke rekening desa tanpa melalui rekening Pemda. Namun pihak Pemda Muna menginginkan agar dana tersebut disalurkan melalui rekening Pemkab lalu kemudian diteruskan ke rekening desa masing-masing.

Pemkab Muna tidak saja mempersoalkan mekanisme penyaluran dana block grant itu, tapi juga mempersoalkan kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu. Bagi Pemkab Muna, mayoritas desa-desa di Kabupaten Muna masih belum siap mengelola dana sebesar itu, sehingga konsekuansi jika dana tersebut diberikan kepada desa maka kemungkinan banyak kepala desa yang akan masuk penjara. Dalam pandangan Asosiasi Kades Kabupaten Muna, sikap dan alasan Pemkab itu sama halnya dengan menakut-nakuti para kades dan mencoba menarik simpatik para kades agar ikut mendukung posisi Pemkab Muna atas Pemerintah Propinsi terhadap masalah dana block grant tersebut.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap dana block grant tersebut, para kepala desa tetap berharap dana tersebut bisa direalisasikan pada tahun anggaran 2008 ini. Kepala desa tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal dari mana sumber dana block grant tersebut, namun yang diharapkan adalah dana tersebut bisa sampai ke desa dan selanjutnya dapat digunakan untuk pembangunan desa. Selama ini diakui bahwa dana yang dialokasikan untuk desa yang berasal dari pemerintah propinsi hampir tidak pernah ada, sementara dana pembangunan desa dari pemerintah kabupaten pun sangat terbatas. Janji politik Gubernur sebenarnya membuka harapan baru bagi desa untuk lepas dari kemiskinan dan ketertinggalan. Sebab paradigma pembangunan yang selalu berporos ke kota makin menyingkirkan eksistensi desa baik sebagai basis produksi pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan maupun sebagai entitas sosial, budaya dan politik lokal yag ril adanya.

Selama ini desa begitu banyak diserahi tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pripinsi dan kabupaten, namun minim dalam pendanaan. Padahal PP No. 72 tahun 2005 Tentang Desa tersurat bahwa tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. Selanjutnya desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.

Dana block grant 100 juta per desa secara prinsip merupakan amanat konstitusi. Persoalannya sekarang adalah ketika pemerintah (propinsi) berusaha menjalankan amat konstitusi itu, malah resistensi muncul dari legislatif. Kita memaknai dana block grant itu sebagai terobosan spektakuler pemerintah propinsi untuk membangun desa. Namun kita dihadapkan pada fakta adanya resistensi dengan alasan keterbatasan anggaran.

Read More...

CATATAN PEMBENTUKAN ASOSIASI KEPALA DESA DI KABUPATEN MUNA

Ide pembentukan forum atau asosiasi kades di Kabupaten Muna sebenarnya sudah lama tersirat dalam pikiran beberapa orang kepala desa pasca pelantikan kolektif kades se-Kabupaten Muna tanggal 1 Mei 2007 lalu.
Namun gagasan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti dalam bentuk yang nyata sebab para kades masih menyimpan ketakutan yang berlebihan (paranoid) terhadap pejabat-pejabat daerah, terutama pada Bupati. Kades Wakumoro sebagai penginisiator pertemuan kades tanggal 21 Agustus lalu juga punya pikiran yang sama jauh sebelum jadi kades. Selama aktif di berbagai LSM lokal, ide memfasilitasi pembentukan forum kades di Kabupaten Muna sempat menjadi agenda kerja, tapi kendalanya tetap saja masih berkutat pada ketakutan para kades untuk di organisir. Akhirnya agenda itu molor terus. Dari faktor internal para kades, keterlambatan pembentukan forum atau asosiasi kades di Kabupaten Muna karena tidak adanya inisiator yang mampu memfasilitasi diskusi atau pertemuan, tidak ada aktor (kades) yang berani membongkar kebekuan dan ketakutan terhadap tekanan yang muncul dari atas.

Fakta tentang ketakutan itu sebenarnya tidak bisa dipungkiri. Demikian kuatnya tekanan dan intimidasi yang diarahkan kepada para kades. Dalam 10 tahun terakhir, hampir tidak ada ruang bagi para kades di Kab. Muna untuk menyatakan pendapat secara terbuka membentuk forum kerjasama antara desa, walaupun sesungguhnya ada regulasi yang melegitimasi pembentukan forum kerjasama itu, paling tidak UUD’45 dan PP 72/2005 memberi ruang untuk itu. Perjalanan sejarah hubungan antara kades dengan pejabat pemerintah yang ada diatasnya pada masa Ode baru sebenarnya sudah jelas, hubungan Kades dengan supra desa dibuat seperti antara buruh dan majikan sehingga terjadi tekanan yang berlebihan, akibatnya muncul ketakutan yang berkepanjangan dari para kades. Kondisi ini belum berubah dan sampai dengan saat ini masih terus berlangsung.

Dulu ada forum-forum kades ditingkat kecamatan, tapi dibentuk secara sembunyi-sembunyi dan tidak formal sehingga tidak berperan maksimal. Forum-forum itu seperti forum pinggiran yang tidak berperan apa-apa. Keberadaan forum itu juga tidak cukup mengangkat posisi tawar Kades dihadapan pemerintah daerah. Pemerintah daerah terus membiarkandesa dalam posisi lemah sehingga ada keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk

Dari beberapa pertemuan informal yang saya lakukan dengan para kades, saya selalu melontarkan ide untuk membentuk lembaga kerjasama dalam bentuk forum atau asosiasi. Ide ini mendapat sambutan positif bahkan dukungan moril untuk merealisasikan ide tersebut. Spontanitas dukungan terus bersambut dari para kades dari sejumlah kades dibeberapa wilayah Kecamatan di Kabupaten Muna, ada yang secara terang-terangan mendukung ada juga yang masih sembunyi-sembunyi. Saya memahami ini sebagai tantangan untuk merubah ketakutan menjadi keberanian. Dalam kondisi ini, pada tanggal 21 Agustus pertemuan pembentukan asosiasi kades akhirnya terealisasi. Dari beberapa informasi yang disampaikan para kades dalam forum disksui tersebut bahwa ketidakhadiran beberapa kades dalam pertemuan itu karena beberapa alasan terutama adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh para camat, undangan yang tidak sampai dan adanya kegiatan yang sudah terjadwal sebelumnya. Namun kehadiran 25 orang kades dari 10 kecamatan dalam forum itu cukup mewakili keseluruhan kades dibeberapa wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Muna. Sebelum dan sesudah pertemuan juga banyak kades yang menyampaikan niat dan keinginan besar untuk bergabung dalam asosiasi kades.

Asosiasi Kades Kabupaten Muna bukanlah organisasi oposisi bagi pemerintah, tujuannya pun bukan untuk melawan pemerintah. Keberadaan Asosiasi Kades ini tidak perlu dirisaukan dan dicurigai terlalu berlebihan. Para Kades yang bergabung hanya ingin melaksanakan hak-hak dasar yang sudah dijamin konstitusi yaitu hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pertanyaan relevan yang saya munculkan adalah ‘jika para Bupati, DPRD atau Gubernur bisa membentuk lembaga kerjasama dalam bentuk asosiasi, kenapa kades tidak bisa melakukan hal yang sama? Asosiasi Kades mungkin bisa sama dengan Asosiasi Bupati atau asosiasi DPRD sebagai organisasi legal yang dijamin konstitusi. Lembaga ini tidak untuk membangun perlawanan dalam rangka membentuk negara baru, bukan juga untuk mengganti warna bendera atau melakukan kudeta atas kekuasaan sebuah rezim di daerah, tapi semata-mata menjalankan hak konstitusional.

Kecurigaan banyak orang tentang adanya tujuan politik dibalik pembentukan Asosiasi mungkin bisa dipahami sebab ini terkait dengan momentum pilgub Sultra 2007. Tapi ini bukan alasan utama atas fakta terjadinya tekanan terhadap para kades. Reaksi pejabat Pemkab Muna terhadap pembentukan asosiasi kades bisa jadi karena adanya ketakutan atas arus balik keberdayaan kades. Menurut pandangan kami bahwa pada dasarnya politik melekat pada setiap orang. Pilgub Sultra yang sudah dekat bukan urusan Asosiasi Kades, itu urusannya partai dan politisi. Jadi asosiasi kades bukan partai politik. Mari kita berbagi peran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Secara individu, masing-masing Kades punya hak dan kepentingan politik yang heterogen, mungkin sulit disatukan. Penyeragaman kepentingan politik adalah hal yang positif asalkan didasarkan atas kepentingan bersama pula yaitu kepentingan mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Asosiasi Kades ini akan menyederhanakan aktivitas politiknya dalam mengatikulasikan visi dan misinya. Misalnya aktivitas politik untuk pilgub atau pilkada adalah satu hal yang menjadi urusan setiap orang, tapi aktivitas politik untuk memperjuangkan hak-hak desa adalah hal utama sebagai agenda organisasi.

Dalam diskusi pembentukan Asosiasi Kades Kabupaten Muna disepakati beberapa hal mendasar :
1. Asosiasi sebagai alat perjuangan untuk kepentingan bersama yaitu kepentingan desa dan masyarakat
2. Asosiasi bukan organisasi politik atau kendaraan politik bagi elite-elite politik tertentu, melainkan sebagai alat untuk menegosiasikan kepentingan bersama. Sebab proses pengambilan kebijakan dan keputusan merupakan proses politik, disanalah arena politik bagi Asosiasi ini terlibat mempengaruhi dan merubah kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat desa.

Ketakutan sebagian kades untuk bergabung dalam asosiasi dapat dipahami sebagai masalah struktural, bukan masalah kultural. Sebab kondisi tersebut sengaja diciptakan untuk melemahkan posisi tawar pemerintah desa, mempersempit ruang desa untuk menuntut hak, dan memperbesar ketergantungan desa terhadap pemerintah daerah. Oleh karena itu kemunculan Asosiasi Kades ini sebagai jawaban untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Sesungguhnya ada banyak masalah yang diungkapkan oleh para kades dalam forum itu, tapi semuanya dikembalikan kepada Asosiasi untuk merancang strategi advokasi yang akan dilakukan dimasa depan.

Isu-isu strategis, rencana kerja, model kelembagaan termasuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi adalah prioritas yang harus diselesaikan dalam sisa waktu tahun 2007 ini. Diharapkan pada tahun 2008, Asosiasi sudah muncul dengan wajah yang sudah terlembaga secara baik, rencana kerja yang sudah tersusun dan strategi gerakan yang jelas dan terukur. Semuanya akan terjawab dengan mengagendakan proses perencanaan strategis secara bersama-sama.

Hal mendesak yang menjadi agenda kerja Asosiasi adalah terlibat dalam advokasi anggaran untuk tahun 2008 yang sekarang prosesnya sedang dipersipkan di legislatif. Untuk itu masukan penting dari para kades yang harus direpon oleh Asosiasi adalah mempengaruhi kebijkan anggaran tahun 2008 agar lebih berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa.

Desa Wakumoro, 21 Agustus 2007

Read More...

SEGERA TUNTASKAN PAYUNG HUKUM ADD

Tahun 2007 akan segera berakhir, tapi kalangan pemerintah desa masih menyimpan kekhawatiran atas amanat pemberlakuan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Muna. “Pemerintah daerah sepertinya setengah hati untuk menjalankan kebijakan ADD.

Indikatornya adalah belum adanya dasar hukum penyelenggaraan ADD. “Memang sudah ada Perda tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan Desa, tapi materinya belum memuat ADD, sehingga Perda tersebut harusnya segera direvisi”. Karena jika tidak, maka praktis sulit untuk menerapkan kebijakan ADD di Kabupaten Muna. Kalau itu terjadi maka desa harus kembali dengan sistem pengelolaan keuangan lama dengan model bantuan atau subsidi yang nilainya jauh lebih kecil.

“Bayangkan subsidi desa di Kabupaten Muna hanya 11 juta, itupun sudah dipotong kiri kanan. Apa yang bisa dibangun dengan uang sebesar itu. Desa tidak akan pernah bisa maju, tertinggal dan menjadi sarang kemiskinan. Desa semakin ditinggalkan oleh penghuninya, mereka lebih memilih merantau dari pada tinggal di desa. Itu hanya satu dari sekian banyak masalah di desa”.

Perda tantang Sumber Pendapatan Desa yang sudah ada tidak bisa dijadikan payung hukum bagi ADD karena perda yang lama itu tidak memuat materi tentang ADD. Oleh karena itu Perda yang isinya memuat tentang ADD harus dijadikan satu paket dengan Perda tentang Sumber Pendapatan Desa. “Ada 2 cara yang bisa segera dilakukan, revisi perda yang sudah ada atau buat perda baru”.

“Nasib kebijakan ADD di Kabupaten Muna memang belum jelas, apakah akan direalisasikan tahun 2008 atau tidak. Pemerintah desa tidak saja risau dengan payung hukum ADD yang belum ada, tapi juga soal besarnya ADD yang dimasukan dalam APBD yaitu hanya sekitar 27 juta. Kelihatannya APBD Muna 2008 banyak tersedot untuk membayar gaji pegawai sehingga lebih cocok disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Pegawai (APBP). Dana pembangunan saja hanya sekitar 30 miliar, ini sangat luar biasa, kita menerima kenyataan pahit bahwa ancaman kemiskinan dan ketertinggalan ada di depan mata. Bagi desa, tidak ada pilihan kecuali mengefektifkan ADD yang jumlahnya kecil itu untuk membangun desa.

“Syukur-syukur kalau janji politik gubernur terpilih untuk memberikan bantuan 100 juta per desa terealisasi. Tapi itu kan janji politik, nanti kita akan percaya kalau itu sudah disalurkan ke desa-desa. Namanya juga janji politik, bohongnya 80 persen dan benarnya 20 persen. Tapi kita tetap berharap atas janji itu isa dibuktikan. Seandainya janji itu benar adanya, maka desa bisa benapas lega dan bisa mengelola dana itu untuk mempercepat proses pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Raha, 22 Februari 2008
ASOSIASI KEPALA DESA KAB. MUNA
La Ode Muammar Kadhafi (Ketua)

Read More...

Obyek Wisata "Fotuno Rete" Wakumoro

Wakumoro memiliki sejumlah obyek wisata menarik, salah satu yang sudah dikenal oleh masyarakat lokal adalah Permandian Air Tawar FOTUNO RETE. Obyek wisata ini menjadi ikon wisata desa dan merupakan yang terbaik di Kabupaten Muna.







Read More...

Lihat Jati Muna, Mantan Menhut Kagum dan Sedih

Sumber : Kendai Pos, Selasa 17 Juni 2008

Kagum, Karena Rakyat Sukses Menanam Jati. Sedih Karena Jati Muna Telah Hancur.

Raha, KP
Mantan Menteri Kehutanan (Menhut) di era kabinet Megawati Sukarnoputri dan mentri pertanian di era Gusdur, Dr. Muhamad Prakosa terkagum-kagum melihat kebun jati milik rakyat seluas sekitar 500 hektar di Desa Wakumoro, Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna. Kata mantan menhut ini keberhasilan masyarakat di desa Wakumoro menghijaukan kembali hutan patut ditiru daerah lain di Indonesia.
Prakosa mengaku belum pernah melihat daerah manapun di Indonesia yang berhasil menghijaukan hutan seperti di Wakumoro. “Jujur saya sudah keliling di Indonesia, belum pernah saya lihat ada daerah yang berhasil menghijaukan hutan seperti di desa Wakumoro. Keberhasilan ini patut ditiru daerah lain di Indonesia. Apalagi jati Muna terkenal keseluruh dunia sebagai jati tebaik di dunia”, ujar Dr. Muhamad Prakosa saat meninjau kebun jati milik rakyat di Desa Wakumoro, kemarin.
Meskipun mengaku kagum dengan keberhasilan masyarakat Kabupaten Muna menghijaukan kembali hutan, namun disisi lain, mantan menteri pertanian dan kehutanan ini mengaku sedih setelah menyaksikan hutan jati di Muna telah hancur, waktu masih menjadi mahasiswa dulu, saya sudah dengar kabar tentang Jati Muna yang kualitasnya terkenal di dunia. Tapi anehnya sepanjang jalan di Kabupaten Muna saya tidak melihat lagi hutan jati yang katanya begitu lebat dan indah. Untunglah masyarakat di Kabupaten Muna khususnya di Desa Wakumoro peduli akan penghijauan. Hal seperti ini merupakan keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Mungkin bisa dikatakan keberhasilan masyarakat di desa Wakumoro akan penghijauan baik lingkungan maupun hutan, sangat berhasil di Indonesia, ujar Prakosa.
Walaupun mantan menteri ini mengaku kehadirannya di desa Wakumoro cuman silahturahmi, namun acara juga di ikuti sejumlah petinggi PDIP di Kabupaten Muna seperti : Drs. La Ode Sefu ( wakil ketua DPRD Muna) La Ode Rifai Pedansa ( Ketua PDIP Sultra) dan beberapa anggota DPRD Muna dari fraksi PDIP diantaranya Ridwam Ramli, LM Taufan Besi dan Mahmud. Hadir pula Kades Wakumoro La Ode Muammar Kadafi. (tri/ong)

Read More...

Mantan Aktivis Walhi Dilantik Jadi Kades

Sumber : Kendari Pos, Kamis, 3 Mei 2007

Muammar Kadhafi : Saya Hanya Mengabdi Pada Rakyat, Bukan Pada Penguasa Yang Menindas dan Korup
Raha, KP
Ada pemandangan yang menarik saat Bupati Muna Ridwan BAE melantik 113 Kades Senis (1/5) di Aula Galampan, Rujab Bupati Muna. Diantara ratusan Kades itu terlihat mantan aktivis LSM Swami, Muammar Khadafi. Adika Kandung Ir. LM Ichlas Muhammad ini trpilih menjadi Kades Wakumoro. Sebelum mmilih profesi menjadi Kades, Muammar Khadafi adalah satu-satunya aktivis LSM yang kerab kali mendemo Bupati Muna, Ridwan BAE.

Saya lihat ada Kades yang brasal dari LSM, itu bagus. Saya himbau agar Kades yang bersangkutan membuang sifat-sifat LSM-nya. Maksud saya sifat-sifat LSM yang tidak berorientasi pada pada kepentingan rakyat. Menyangkut adanya laporan masyarakat bahwa ada Kades yang bersalah seprti Kades Oelongko yang dilaporkan poligami, Kades Kombungo Hadium Ebe yang dikabarkan terganggu kesehatannya, Kades Bone Kancitala yang kartu suaranya bermasalah dan sebagainya, pmerintah darah tidak mau mencampuri hal ini, “tukas Ridwan.
Namun demikian Ridwan mengatakan seperti Kades Kombungo Hadiun Ebe kalau benar-benar tidak sehat, dalam waktu 3 bulan tidak menjalankan tugasnya diminta masyarakat menyurati Bupati.
“ Tidak usah ribut-ributlah, kalau memang Kades Kombungo itu tidak sehat, 3 bulan saja tidak menjalankan tugasnya, silahkan masyarakat surati saya, saya akan ambil langkah. Saya sudah panggil dokternya, dia bilang dia periksa Hadiun Ebe dan sehat. Demikina pula dengan Kades Oelongko yang dilaporkan brpoligami. Saya sudah panggil camatnya, Kapolsek. Kalau memang bermasalah, surati Bupati, saya akan non aktifkan yang bersangkutan,” tambah Ridwan.
Dalam kesempatan tersebut Ridwan juga menghimbau agar para Kades tidak terjebak dalam kasus-kasus korupsi, terutama dana subsidi desa dan Raskin. “Saya beri waktu 1 tahun, saya akan periksa para Kades, jika aa yang terlibat korupsi saya akan tangkap. Jangan coba-coba mau korupsi raskin dan subsidi desa, jangan karena kebodohan anda trjebak kasus korupsi. Ambil dan terima apa yang menjadi hak anda,” pungkas Ridwan yang disambut aplaus ratusan Kades.
Ditempat terpisah, Kades Wakumoro, Muammar Kadhafi ketika disinggung pernyataan Bupati yang meminta agar kades mantan LSM membuang sifat-sifat LSMnya, dengan tegas mengatakan, hanya mau tinduk pada aturan pemerintah berdasarkan keadilan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
“ Sebagai Kades saya mau tunduk pada aturan pmerintah yang brkeadilan dan berpihak pada rakyat, bukan pada pribadi penguasa. Semangat untuk membela yang benar selalu melekat pda jiwaku. Saya hanya mengabdi pada rakyat, bukan pada penguasa yang menindas dan korup, “ tegas mantan aktivis LSM Swami, LSM Kritik, LSM Telapak Indonesia dan Walhi ini. Siapa penguasa yang dimaksud, Khadafi tidak memberi jawaban. (k2)

Read More...

Bupati Keliling Pakai Heli, Sebagian Rakyat Makan Kolope

Sumber : Kendari Pos, Jumat, 11 Mei 2007
Kendari, KP
Kepala Desa Wakumoro, Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna, Muammar Kadafi mengeluarkan pernyataan yan agak menggelitik dan tidak masuk dalam teori ekonomi.” Saya terkesima membaca berita di koran-koran bahwa Bupati Muna keliling pakai helikoter untuk memberikan bantuan di beberapa kota di Sultra. Saya terkesima karena sebagian masyarakat masih makan kolope (ubi hutan, red), rakyat Muna belum keluar dari ancaman kelaparan setelah msim kemarau baru-bau ini. Ini bukan saja warga saya, saya pernah berkunjung di Desa Langku-langku, Kecamatan Tiworo Tengah dan saya sempat menyaksikan rombongan ibu-ibu pengayuh sepeda yang baru kembali dari hutan mencari kolope. Naujubillah, tutur Kadafi, via telpon, kemarin. “Di Wakumoro bahkan ada yang makan bubu (jagung berulat) karena dia tidak punya stok makanan lagi,tambah Kadafi.
Aksi Bupati Muna, Ridwan BAE yang keliling menggunakan helikopter memang sontak menimbulkan reaksi sinis dari sejumlah kalangan, baik pejabat publik, para aktifis maupun masyarakat biasa. Sayangnya para pejabat ini enggang di publikasikan di koran, sebaliknya dengan sebagian aktifis LSM, yang terang-terangan mngecam. Dari sisi kepentingn Pilgub, aksi ini memang menguntungkan karena langsung terkenal. Begitu LSI turun, grik Ridwan BAE itu, tutur Hidayatullah, ketua MARA Sultra.
Kata Dayat-sapaan akrab Hidayatullah, apapun alasannya, keliling propinsi Sultra menggunakan helikopter tidak bisa diterima dan kontraproduktif dengan misi sosial. Menurut Dayat, seorang bupati di kabupaten miskin memberi bantuan sosial di daerah maju seperti Kolaka, Kolaka Utaran yang petani kakaonya bisa membli kontan mobil mahal, benar-benar menggelengkan kepala dan tidak masuk akal.”Tanpa menggunakan heli, menggunakan sandal jepit saja, disekitar rumah Ridwan itu masih banyak orang miskin. Kemudian biaya heli itu bisa membiayai 100 orang anak putus sekolah di Muna. Saya berharap kepada masyarakat Muna agar istifarg dengan kejaian ini, bantuan itu ibarat orang miskin membantu orang mampu, terang Dayat.
Jika Misi Ridwan Bae dngan helikopter dalam rangka sosialisasi pencalonan diri sebagai gubernur, Hidayatullah lengsung meminta aparat hukum untuk bertindak, “Secara etika politik, bertemu Bupati Kolaka dan Kolaka Utara itu tidak etis. Bupati di daerah miskin menggunakan helikopter untuk betemu bupati daerah kaya. Bukan sanjungan yang muncul tapi tertawaan, kata Dayat.
Aksi sosil Ridwan BAE dengan helikopternya gambaran bahwa Ridwan adalah pejabat yang suka menghambur-hamburkan uang. Dan tindakan tersebut justru membuat masyarakat Sultra tidak bersimpatik, kata Ihlas Muhamad aktifis LSM lainnya via SMS tadi malam.
Ketua Angkatan Muda Sulawesi, La Ode Muliono berpendapat agak lain. Dia menilai misi yang dibawakan oleh Bupati Muna Ridwan Bae untuk mebantu pengobatan, patut diacungkan jempol. Tapi sebaiknya, sebelum dilakukan di wilayah-wilayah lain, masih banyak masyarakat Muna yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, bahkan cenderung tidak diperhatikan oleh Pemda Muna, kenapa tidak disentuh terlebih dahulu masyarakat Muna yang masih mmbutuhkan dana itu, ungkapnya.
Muliono tidak yakin jika dana yang digunakan pengobatan gratis dan sewa helikopter sebesar 2,300 miliar lebih adalah sumbangan dari par kadr Golkardan pengusaha. Pasti dana itu menggunakan dana Pemda Muna. Kalau dana itu berasal dari kader Golkar, patut dipertanyakan dana sebesr itu didapat dari mana, dan kalau pengusaha, siapa pengusaha itu dan kapan mereka mengumpulkan bantuan, jelasnya. (m7).

Read More...

ADD : Menunggu Kebaikan Bupati

Pada tanggal 16 April 2008 Kepala Desa se Kabupaten Muna diundang oleh Bupati untuk kegiatan sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) di rumah jabatan Bupati. Format presentasi yang disampaikan Bupati terlihat copy-paste dari lampiran Surat Edaran Mendagri No 140/640/SJ tanggal 22 Maret 2005. Ada dua point kesimpulan dari kegiatan sosialisasi tersebut adalah :

Pertama, realisasi ADD di Kabupaten Muna baru akan dilaksanakan secara penuh pada tahun anggaran 2009
Kedua, Pola penganggaran untuk desa di Kab. Muna tahun 2008 masih menggunakan istilah “Dana SUBSIDI” dan besarnya masih sama dengan tahun anggaran sebelumnya yakni 11 juta per desa.

Sejumlah alasan kunci Pemkab Muna yang disampaikan terkait dengan penundaan realiasasi kebijakan ADD adalah :

Pertama, Pemerintah Desa dianggap belum memiliki kapasitas untuk mengelola ADD, temasuk didalamnya adalah kesiapan teknis pengelolaan dan pertanggungjawaban.
Kedua, hampir seluruh desa di Kab. Muna belum memiliki perangkat regulasi tingkat desa (APBDes), karena perangkat Pemdes belum memiliki kapasitas membuat APBDes.
Ketiga, belum ada perangkat regulasi daerah (Perda atau SK Bupati) sebagai dasar hukum implementasi kebijakan ADD.
Keempat, ketidak cukupan anggaran daerah karena sebagian besar APBD 2008 dialokasikan untuk belanja pegawai, hanya tersedia 30 persen dana APBD yang dialokasikan untuk belanja pembangunan/public.

Saya sendiri yang dipercayakan oleh teman-teman kades menjadi juru bicara atas nama Asosiasi Kades dalam forum tersebut mencoba menjawab dan mempertanyakan alasan-alasan pemkab tersebut :

Pertama, sejak kebijakan ADD dipromosikan oleh pemerintah (pusat) yang kemudian di tindaklanjuti dengan keluarnya Surat Edaran Mendagri No. 140/640/SJ tentang Pedoman ADD dari Pemkab/Kota kepada Pemdes, terkesan Pemkab Muna tidak menghiraukan dan tidak menindaklanjuti secara serius Surat Edaran tersebut. Faktanya sampai hari ini Pemkab Muna belum juga melaksanakan perintah dalam Surat Edaran itu seperti pembentukan tim perumus kebijakan ADD, institusi pengelola ADD (Tim fasilitasi tingkat Kabupaten, kecamatan dan desa), perangkat regulasi (perda) dll. Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan Pemkab Muna sejak keluarnya Surat Edaran tersebut (Maret 2005 – sekarang)? Padahal seharusnya sejak April - Desember 2005 semua point-point penting dalam lampiran surat edaran itu sudah tuntas dipersiapkan atau diselesaikan, sehingga tahun anggaran 2006 sebenarnya kebijakan ADD praktis sudah bisa dijalankan secara efektif dalam kebijakan anggaran (APBD). Tapi lagi-lagi kembali pada niat dari pengambil kebijakan (baik eksekutif maupun legislatif) yang masih setengah hati.

Kedua, Kalau mempersoalkan kapasitas perangkat pemdes yang belum memadai, terutama kapasitas dalam perencanaan pembangunan, pembuatan APBDes dan pengelolaan keuangan desa, itu tanggung jawab siapa? Padahal ratusan juta dana dari APBD 2005 – 2007 telah dialokasikan untuk peningkatan kapasitas perangkat desa. Pengakuan dari para kades memang pernah dilakukan pelatihan peningkatan kapasitas perangkat desa terutama dalam hal pembuatan APBDes, tapi pelatihan tersebut tidak fokus, terkesan hanya mengejar target proyek, pesertanya pun terbatas. Hanya ada sekitar 50 persen kades yang dilatih, bahkan ada yang sudah ikut pelatihan 2-3 kali. Alumni pelatihan kebanyakan sudah tidak terpilih lagi dalam pilkades.

Nah, kegelisahan kami atas tertundanya implementasi kebijakan ADD di Kabupaten Muna ini kami berniat untuk melakukan dialog/hearing dengan DPRD Muna, namun jadwalnya belum ditentukan, cuman saran dari teman-teman anggota Asosiasi Kades Kab. Muna agar dialog dengan DPRD itu bisa dipercepat. Maksud dari dialog dengan DPRD ini sebenarnya hanya ingin mengkonfirmasi pernyataan-pernyataan dari Pemkab diatas, sekaligus mengadukan keputusan penundaan implementasi kebijakan ADD oleh Pemda, targetnya adalah akan ada proses perubahan anggaran yang dilakukan di DPRD tahun 2008 ini dengan memasukan ADD dalam APBD 2008.

Ada lagi yang ingin saya sampaikan terkait dengan tidak transparannya Pemkab Muna dalam hal kebijakan ADD

Sampai saat ini kami masih sangat sulit untuk mengakses dokumen APBD tahun 2008 yang telah ditetapkan besama DPRD, entah kenapa begitu tersembunyi dokumen itu, padahal kita tau bahwa dokumen itu adalah milik publik. Namun dengan berbagai cara kami berusaha mengorek informasi soal APBD dari salah seorang anggota DPRD. Dari sumber informasi itu kami memperoleh gambaran bahwa sebetulnya ADD sudah tercantum dalam APBD. Saya mengutip komentar mengejutkan dari sang narasumber " kami tidak tahu kalau ADD tidak dijalankan oleh Pemda tahun 2008 ini, yang jelas bahwa yang namanya ADD itu sudah kami putuskan dan ada dalam dokumen anggaran ". Nah, pertanyaan kami bahwa jangan sampai nomenklatur ADD yang sudah disetujui di gedung DPRD sengaja dihilangkan oleh Pemda. Ini bisa mungkin terjadi. Ada yang aneh di Pemda Muna, pada pertemuan Maret 2008 (saat itu para kades dikumpulkan di kantor BPMD, kepala BPMD mengatakan secara terbuka bahwa ADD akan segera di alokasikan sebesar 27 jt per desa, tapi pada pertemuan beberapa hari lalu pemda kembali mengatakan ADD tidak ada, yang hanya hanya dana SUBSIDI.

Dalam forum sosialisasi 16 April lalu, pihak Pemda menyatakan bahwa pada dasarnya ADD itu = SUBSIDI yang selama ini dikenal di Muna, menurut mereka apapun namanya tidak masalah, yang terpenting adalah isinya. Lagi menurut pihak pemda bahwa jika ADD dilaksanakan maka nilainya akan lebih kecil dari dana subsidi yang diterima desa selama ini (dibawah 11 juta per desa).

“Bagi kami, apapun alasannya, ADD sangat berbeda dengan dana SUBSIDI, kami tidak mempersoalkan besar kecilnya nilai rupiah ADD, yang terpenting bagi kami adalah kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsisten sesuai amanat peraturan perundangan”.

Sekedar informasi bahwa tahun 2009 ada pemilu legislative, dan tahun 2010 ada pilkada di Muna. Ada berbagai strategi Bupati Muna untuk merangkul para kades misalnya dengan menjanjikan pembagian motor bagi kades.

Read More...

PEMBENTUKAN ASOSIASI KADES DI KABUPATEN MUNA

Ide pembentukan forum atau asosiasi kades di Kabupaten Muna sebenarnya sudah lama tersirat dalam pikiran beberapa orang kepala desa pasca pelantikan kolektif kades se-Kabupaten Muna tanggal 1 Mei 2007 lalu. Namun gagasan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti dalam bentuk yang nyata sebab para kades masih menyimpan ketakutan yang berlebihan (paranoid) terhadap pejabat-pejabat daerah, terutama pada Bupati.
Kades Wakumoro sebagai penginisiator pertemuan kades tanggal 21 Agustus lalu juga punya pikiran yang sama jauh sebelum jadi kades. Selama aktif di berbagai LSM lokal, ide memfasilitasi pembentukan forum kades di Kabupaten Muna sempat menjadi agenda kerja, tapi kendalanya tetap saja masih berkutat pada ketakutan para kades untuk di organisir. Akhirnya agenda itu molor terus. Dari faktor internal para kades, keterlambatan pembentukan forum atau asosiasi kades di Kabupaten Muna karena tidak adanya inisiator yang mampu memfasilitasi diskusi atau pertemuan, tidak ada aktor (kades) yang berani membongkar kebekuan dan ketakutan terhadap tekanan yang muncul dari atas.

Fakta tentang ketakutan itu sebenarnya tidak bisa dipungkiri. Demikian kuatnya tekanan dan intimidasi yang diarahkan kepada para kades. Dalam 10 tahun terakhir, hampir tidak ada ruang bagi para kades di Kab. Muna untuk menyatakan pendapat secara terbuka membentuk forum kerjasama antara desa, walaupun sesungguhnya ada regulasi yang melegitimasi pembentukan forum kerjasama itu, paling tidak UUD’45 dan PP 72/2005 memberi ruang untuk itu. Perjalanan sejarah hubungan antara kades dengan pejabat pemerintah yang ada diatasnya pada masa Ode baru sebenarnya sudah jelas, hubungan Kades dengan supra desa dibuat seperti antara buruh dan majikan sehingga terjadi tekanan yang berlebihan, akibatnya muncul ketakutan yang berkepanjangan dari para kades. Kondisi ini belum berubah dan sampai dengan saat ini masih terus berlangsung.

Dulu ada forum-forum kades ditingkat kecamatan, tapi dibentuk secara sembunyi-sembunyi dan tidak formal sehingga tidak berperan maksimal. Forum-forum itu seperti forum pinggiran yang tidak berperan apa-apa. Keberadaan forum itu juga tidak cukup mengangkat posisi tawar Kades dihadapan pemerintah daerah. Pemerintah daerah terus membiarkandesa dalam posisi lemah sehingga ada keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk

Dari beberapa pertemuan informal yang saya lakukan dengan para kades, saya selalu melontarkan ide untuk membentuk lembaga kerjasama dalam bentuk forum atau asosiasi. Ide ini mendapat sambutan positif bahkan dukungan moril untuk merealisasikan ide tersebut. Spontanitas dukungan terus bersambut dari para kades dari sejumlah kades dibeberapa wilayah Kecamatan di Kabupaten Muna, ada yang secara terang-terangan mendukung ada juga yang masih sembunyi-sembunyi. Saya memahami ini sebagai tantangan untuk merubah ketakutan menjadi keberanian. Dalam kondisi ini, pada tanggal 21 Agustus pertemuan pembentukan asosiasi kades akhirnya terealisasi. Dari beberapa informasi yang disampaikan para kades dalam forum disksui tersebut bahwa ketidakhadiran beberapa kades dalam pertemuan itu karena beberapa alasan terutama adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh para camat, undangan yang tidak sampai dan adanya kegiatan yang sudah terjadwal sebelumnya. Namun kehadiran 25 orang kades dari 10 kecamatan dalam forum itu cukup mewakili keseluruhan kades dibeberapa wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Muna. Sebelum dan sesudah pertemuan juga banyak kades yang menyampaikan niat dan keinginan besar untuk bergabung dalam asosiasi kades.

Asosiasi Kades Kabupaten Muna bukanlah organisasi oposisi bagi pemerintah, tujuannya pun bukan untuk melawan pemerintah. Keberadaan Asosiasi Kades ini tidak perlu dirisaukan dan dicurigai terlalu berlebihan. Para Kades yang bergabung hanya ingin melaksanakan hak-hak dasar yang sudah dijamin konstitusi yaitu hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pertanyaan relevan yang saya munculkan adalah ‘jika para Bupati, DPRD atau Gubernur bisa membentuk lembaga kerjasama dalam bentuk asosiasi, kenapa kades tidak bisa melakukan hal yang sama? Asosiasi Kades mungkin bisa sama dengan Asosiasi Bupati atau asosiasi DPRD sebagai organisasi legal yang dijamin konstitusi. Lembaga ini tidak untuk membangun perlawanan dalam rangka membentuk negara baru, bukan juga untuk mengganti warna bendera atau melakukan kudeta atas kekuasaan sebuah rezim di daerah, tapi semata-mata menjalankan hak konstitusional.

Kecurigaan banyak orang tentang adanya tujuan politik dibalik pembentukan Asosiasi mungkin bisa dipahami sebab ini terkait dengan momentum pilgub Sultra 2007. Tapi ini bukan alasan utama atas fakta terjadinya tekanan terhadap para kades. Reaksi pejabat Pemkab Muna terhadap pembentukan asosiasi kades bisa jadi karena adanya ketakutan atas arus balik keberdayaan kades. Menurut pandangan kami bahwa pada dasarnya politik melekat pada setiap orang. Pilgub Sultra yang sudah dekat bukan urusan Asosiasi Kades, itu urusannya partai dan politisi. Jadi asosiasi kades bukan partai politik. Mari kita berbagi peran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Secara individu, masing-masing Kades punya hak dan kepentingan politik yang heterogen, mungkin sulit disatukan. Penyeragaman kepentingan politik adalah hal yang positif asalkan didasarkan atas kepentingan bersama pula yaitu kepentingan mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Asosiasi Kades ini akan menyederhanakan aktivitas politiknya dalam mengatikulasikan visi dan misinya. Misalnya aktivitas politik untuk pilgub atau pilkada adalah satu hal yang menjadi urusan setiap orang, tapi aktivitas politik untuk memperjuangkan hak-hak desa adalah hal utama sebagai agenda organisasi.

Dalam diskusi pembentukan Asosiasi Kades Kabupaten Muna disepakati beberapa hal mendasar :
1. Asosiasi sebagai alat perjuangan untuk kepentingan bersama yaitu kepentingan desa dan masyarakat
2. Asosiasi bukan organisasi politik atau kendaraan politik bagi elite-elite politik tertentu, melainkan sebagai alat untuk menegosiasikan kepentingan bersama. Sebab proses pengambilan kebijakan dan keputusan merupakan proses politik, disanalah arena politik bagi Asosiasi ini terlibat mempengaruhi dan merubah kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat desa.

Ketakutan sebagian kades untuk bergabung dalam asosiasi dapat dipahami sebagai masalah struktural, bukan masalah kultural. Sebab kondisi tersebut sengaja diciptakan untuk melemahkan posisi tawar pemerintah desa, mempersempit ruang desa untuk menuntut hak, dan memperbesar ketergantungan desa terhadap pemerintah daerah. Oleh karena itu kemunculan Asosiasi Kades ini sebagai jawaban untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Sesungguhnya ada banyak masalah yang diungkapkan oleh para kades dalam forum itu, tapi semuanya dikembalikan kepada Asosiasi untuk merancang strategi advokasi yang akan dilakukan dimasa depan.

Isu-isu strategis, rencana kerja, model kelembagaan termasuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi adalah prioritas yang harus diselesaikan dalam sisa waktu tahun 2007 ini. Diharapkan pada tahun 2008, Asosiasi sudah muncul dengan wajah yang sudah terlembaga secara baik, rencana kerja yang sudah tersusun dan strategi gerakan yang jelas dan terukur. Semuanya akan terjawab dengan mengagendakan proses perencanaan strategis secara bersama-sama.

Hal mendesak yang menjadi agenda kerja Asosiasi adalah terlibat dalam advokasi anggaran untuk tahun 2008 yang sekarang prosesnya sedang dipersipkan di legislatif. Untuk itu masukan penting dari para kades yang harus direpon oleh Asosiasi adalah mempengaruhi kebijkan anggaran tahun 2008 agar lebih berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa.

Read More...

Jumat, 19 September 2008

Bupati Muna Digugat Mantan Kades Wakumoro

Sumber : Kendari Pos, Jum`at 12 September 2008

Kendari, KP
Tindakan Bupati Muna yang mencopot jabatan La Ode Muamar Kadafi sebagai Kepala Desa Wakumoro di Kecamatan Parigi sampai saat ini masih menyisahkan permasaalahan yang tak kunjung selesai. Hal itu ditandai dengan aksi pengaduan Muamar Kadafi kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari. "Saya jadi korban otonomi daerah yang disalah artikan," begitu Kadafi.

Melalui lembaga hukum ini, LBH Kendari selaku kuasa hukum dari Muamar Kadafi mengajukan gugatannya terhadap Bupati Muna, Ridwan BAE di Sekretariat Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Kendari, kemarin. Enselmus AR, SH, Direktur LBH Kendari mengatakan, gugatan itu dialamatkan kepada Ridwan BAE selaku Bupati Muna karena pencopotan jabatan Muamar Kadafi dari Kades Wakumoro yang tidak sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Menurutnya, pencopotan itu tidak dilandasi dengan asas-asas pemberhentian atau pemecatan kepala pemerintahan. “Alasan Ridwan tidak relevan dengan aturan itu,” katanya. "Hanya karena Muamar Kadafi memfasilitasi pemilihan anggota BPD di desanya, lantas dia dipecat begitu saja,” sambungnya.
Lagi pula, tindakan Muamar Kadafi dalam memfasilitasi pemilihan anggota BPD itu sebenarnya tidak salah, sebab masyarakat menilai kinerja Badan Perwakilan Desa yang diketuai oleh Laode Sombo SP, tidak punya kontribusi apa-apa terhadap masyarakat. Selain itu, secara de facto, masyarakat Wakumoro hanya mengakui Muamar Kadafi sebagai kepala desa mereka, akibatnya, banyak aspirsi masyarakat yang tidak kesampaian.
Kata Anselmus, dalam kepengurusan BPD versi Laode Sombo ini, sudah tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab, dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2001, tentang pelaksanaan pemerintahan desa, menjelaskan bahwa, anggota BPD adalah unsur masyarakat dengan jumlah minimal lima (5) orang dan maksimal sebelas (11) orang. Nah, poin ini yang tidak bisa dipenuhi oleh kepengurusan Laode Somobo, karena dua orang anggotanya sudah menyatakan keluar dari kepengurusan BPD yang dinahkodainya itu.
Untuk itu, Muamar Kadafi selaku orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan di desanya merasa perlu menyelesaikannya dengan melakukan pemilihan anggota BPD yang baru, untuk mengganti kepengurusan anggota BPD periode 2007 sampai 2013 itu.
Namun,dimata bupati Muna, tindakan Muamar Kadafi itu sudah kelewatan. Karena dia (Kadafi) dengan secara sadar telah membatalkan Surat Keputusan Bupati Muna nomor 271 tahun 2007 tentang pengangkatan Laode Sombo SP, sebagai ketua BPD Wakumoro. Rencanya, sidang gugatan itu akan dilakukan dalam dua pekan kedepan.(m5/ong)

Read More...