Senin, 04 Maret 2013

Read More...

Rabu, 09 September 2009

TOLAK PEMEKARAN KAB. MUNA

Raha, 21 Agustus 2009
PRess Release FRONT PEMBEBASAN RAKYAT MUNA
ROMBAK Muna)

Demam pemekaran daerah di Indonesia sudah terjadi sejak orde reformasi muncul. Ketika itu tuntutan selama Orde Baru tidak berjalan sesuai harapan. Banyak daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam besar hanya menjadi obyek eksploitasi bagi daerah-daerah lain. Kini Kabupaten Muna juga sedang ikut-ikutan latah dengan isu pemekaran menjadi 3 wilayah yaitu Kota Raha, Kabupaten Wuna dan Kabupaten Muna Barat.

“…Kami melihat Pemkab Muna tidak tahu diri, hanya ingin sekedar ikut-ikutan saja agar dibilang tidak ketinggalan zaman, padahal konsekuensi pemekaran Kab. Muna sangat besar. Pemkab Muna harusnya berkaca diri atas kondisi Muna yang terjadi saat ini…”
“…Pemkab Muna telah melakukan pembodohan dan penipuan terhadap rakyatnya sendiri. Menceritakan kepada masyarakat yang manis-manisnya saja, bahwa pemekaran Kab. Muna akan mempercepat proses pembangunan melalui pembagian DAU dan DAK, pemekaran untuk mengurangi pengangguran melalui penerimaan PNS secara besar-besaran. Kalau 2 hal itu yang diagungkan, itulah yang kami maksud dengan pembodohan dan penipuan terhadap rakyatnya sendiri…”
Ada beberapa catatan kritis yang ingin kami sampaikan kepada seluruh masyarakat Muna yang menjadi alasan penolakan pemekaran Kabupaten Muna :
Dari segi politik, pemekaran Kabupaten Muna adalah upaya sistematis dari elite-elit politik lokal terutama oleh kelompok yang sedang berkuasa saat ini dalam rangka memberdayakan kroni untuk menjadi pejabat. Motif bagi-bagi jabatan sangat kental sebagai latar belakang pemekaran Kabupaten Muna, mulai dari jabatan pelaksana sementara bupati, Sekda, kepala dinas, camat dan lain-lain.

Secara ekonomi, Kabupaten Muna saat ini mengalami masalah serius karena kondisi perekonomian daerah yang makin terpuruk karena angka pengangguran tinggi, peredaran uang sangat kecil, penumpukan modal pada sekelompok orang serta tingginya korupsi. “ Lihat saja uang yang beredar di Pasar Laino itu sangat kecil, sekitar 2 miliar per bulan dan 80 persen berasal dari para PNS. Aktivitas ekonomi terlihat tinggi hanya pada saat-saat tanggal muda yaitu antara tanggal 1 – 10 setiap bulan…”

Dari aspek potensi SDA, setelah kayu jati dihancurkan sampai ke akar-akarnya, SDA apa yang akan dikelola oleh 3 kabupaten/kota pemekaran. Sektor perikanan tidak berkembang karena faktanya banyak lahan-lahan potensial untuk pertambakan sudah dikuasai oleh para pejabat dan masyarakat pendatang.

Dari segi anggaran, Kabupaten Muna selama ini praktis hanya mengandalkan DAU/DAK, bantuan Pemprov dan pinjaman dari bank. PAD terus mengalami penurunan drastis dari 27 miliar (2005) turun menjadi 18 milair (2008). Satu Kabupaten saja sudah sulit meningkatkan PAD, apalagi kalau dibagi 3 kabupaten/kota. Ada 2 persoalan utama yang dihadapi terkait dengan anggaran ini : (1) dis-orientasi pengelolaan APBD dimana desain APBD lebih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pegawai dan proyek-proyek menara gading; (2) Tingginya angka korupsi APBD. “… ada fakta yang menyedihkan yaitu utang Pemkab Muna lebih tinggi dari angka PAD. Lantas apakah daerah ini dan juga daerah yang akan dimekarkan harus menggantungkan diri pada pinjaman/utang? Jelas tidak mungkin…”

Dari segi budaya, pemekaran adalah ancaman hilangnya nilai-nilai budaya Muna. “…Wuna ini dibentuk dan diperkuat oleh 4 wilayah/komunitas besar yang disebut Ghoera (Tongkuno, Kabawo, Lawa, Katobu) sebagai satu kesatuan. Pemekaran sangat berpotensi menghilangkan identitas, entitas dan eksistensi ‘Ghoera’ dan secara bersamaan akan menghilangkan apa yang sering kita sebut Kabarakatino Witeno Wuna…”

Kami menilai bahwa pemekaran Kabupaten bukan solusi terbaik dan satu-satunya untuk percepatan pembangunan daerah. “…Pemekaran hanya akan menciptakan sentralisasi baru diwilayah pemekaran, menciptakan desentralisasi oligarki kekuasaan dan desentralisasi korupsi. Sistem pemerintahan dan pembangunan yang dipraktekan dalam 10 tahun terakhir adalah faktanya...”

Kami mensinyalir usulan pemekaran Kabupaten Muna hanya keinginan segelintir orang saja, karena tidak melalui proses diskusi atau konsultasi public dengan melibatkan para pihak. Permufakatan hanya dilakukan elit di lingkungan birokrasi dan kelembagaan DPRD tanpa melibatkan rakyat sebagai penerima dampak. “…kami akan berjuang sekuat tenaga, bahkan sampai ke Jakarta untuk membatalkan rencana pemekaran Kabupaten Muna…”

Read More...

Selasa, 04 Agustus 2009

Lima Manajemen Kepemimpinan di Muna

Kendari Ekspres (Raha:Sabtu, 25 Juli 2009)
Catatan: Ishak Junaidy
Manajemen kepemimpinan di Muna paling tidak ada lima teknik yang aktual dewasa ini. Tidak perlu diragukan lagi sukses penerapanya, antara lain managemen tepuk bahu, managemen peta konflik, managemen ketergantungan dan managemen kambing hitam.
Seorang ada yang menguasai satu, dua teknik. Beberapa orang lagi ada yang memadukan tiga atau empat teknik, serta ada pula yang menguasai semuanya dengan sempurna. Teknik pertama managemen tepuk bahu.
Tak terbayang betapa girang rasanya bila ditegur sapa pejabat, apalagi memuji hasil karya atau sebuah pekerjaan. Sembari menepuk bahu, perlakuan itu sungguh menjadi motifasi yang luar biasa, tak bisa tergantikan dengan tropi, piagam atau uang. Kalau tepuk bahu terus, lama-kelamaan sakit juga,”ah, padamu negri terus kah ini”. Kedua, managemen peta konflik. Ada yang gemar sepertinya memupuk kesenangan dengan konflik disekitarnya. Tak jarang justru sengaja diciptakan. Beberapa orang menjadi besar dari konflik. Taktiknya, dalam konflik akan muncul pahlawan.
Tapi beberapa tipe kepemimpinan di Muna menerapkanya dengan cara yang agak berbeda dan kreaktif. Ini agak unik dan sepertinya menyimpang dari teori umum. Ia tidak sekedar memunculkan pahlawan, melainkan ia juga melanggengkan konflik. Orientasinya menjadi banyak capaian.
Entah sengaja atau memang tidak solutif. Jika pegadaian menggunakan prinsip mengatasi masaalah tanpa masaalah, maka yang ini prinsipnya: mengatasi masaalah dengan masaalah baru.
Ketiga, managemen ketergantungan. Menciptakan kemiskinan masal. Prinsipnya hanya ia seorang yang kaya. Ia seorang yang punya mata air, orang lain hanya di beri tetesan-tetesan. Ketika ada yang kehausan, tak ada lagi yang bisa menolong kecuali dia. Lalu tiba-tibasang tokoh muncul disaat kritis dan tak terduga , dengan seteguk air.
Di mata awam, tak pelak ia akan dianggap pahlawan, dermawan yang baik hati, dan dielu-elukan bak dewata. Metode ini perlu pemiskinan yang direncanakan, diciptakan. Cuma tidak enak kalau di-APBD-kan. Kemiskina karena pemiskinan. Miskin di identikan dengan kebodohan. Sebuah kebodohan karaena pembodohan.
Keempat, managemen kambing hitam. Beberapa pemimpin tidak senang dikelilingi oleh orang cerdas, sebab dianggap membahayakan. Ia juga tidak perduli profesionalisme karena itu menghalang (pendebat). Tipe ini mengagungkan penghambaan (perbudakan). Tidak perlu menghaba laksana raja dan ham ba sahaya, tapi penghambaan mental dan pikiran.
Ia butuh loyalisme buta, yang rela memerangkan apa saja termasuk menjadi tumbal, kambing hitam, saat sesuatu yang buruk terjadi. Maka itu, summa cumlude tidak bakalan laku, yang dipakai justru summa nauzubillah. Pada iklim ini bisa saja guru SD jadi camat, atau ada kepala rumah tangga rujab tiba-tiba menjadi kepala dinas.
Tapi ada orang yang menguasai teknik kepemimpinan. Ia menguasai managemen tepuk bahu untuk motifasi dan terutama mereka yang bermental gila puji dan cari muka. Ia juga mengusai managemen petakonflik untuk popularitas, managemen ketergantungan untuk memupuk penghambaan masal, menguasai managemen kambing hitam untuk buang sial.

Read More...

Kamis, 30 Juli 2009

Pertahankan Aset Desa dengan Perang

Belum selesai polemik pemberhentian Kades Wakumoro, kini Pemkab Muna mulai menyusun rencana untuk merubah status Desa Wakumoro menjadi Kelurahan. Mendengar rencana tersebut, mayoritas masyarakat Desa Wakumoro menyatakan penolakan dan berjanji akan terus mempertahankan status Wakumoro sebagai Desa.

”Kami menolak kalau Desa Wakumoro dijadikan Kelurahan, karena hal itu tidak menguntungkan buat kami. Perubahan status Desa Wakumoro menjadi Kelurahan adalah skenario Pemda untuk menguasai aset-aset Desa Wakumoro yang sangat berharga terutama Pasar Desa dan Obyek Wisata Permandian Alam Air Tawar ”Fotuno Rete”. Masyarakat telah menyatakan tekad untuk tetap mempertahankan status desa karena perubahan status menjadi kelurahan adalah bentuk perampokan atas seluruh aset dan sumber daya alam milik desa...” komentar tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Desa Wakumoro.

Lagi pula menurut PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan mengisyaratkan adanya aspirasi masyarakat setempat. Jadi sepanjang masyarakat menolak, maka perubahan status desa menjadi kelurahan tidak bisa dilakukan. Tapi kalau Pemda tetap memaksakan, berarti benar bahwa pemerintahan yang berlaku di Muna adalah sama seperti kekaisaran Fir’aun, tidak ada hukum yang berlaku, yang dipatuhi adalah sabda sang Kaisar.

Sebagai gambaran bahwa Desa Wakumoro memiliki 2 aset penting dan strategis sebagai sumber utama pendapatan desa yaitu Pasar Desa yang menghasilkan ± 60 juta per tahun dan Obyek Wisata Permandian Fotuno Rete yang menyumbang sebesar ± 35 juta per tahun. Pendapatan tersebut baru bisa diukur dalan 1 tahun terakhir. Sebelumnya, sejak Desa Wakumoro terbentuk tahun 1998, hasil-hasil dari pasar desa dan obyek wisata Fotuno Rete tidak pernah jelas pengelolaannya. Pendapatan dari Oyek wisata permandian Fotuno Rete terutama diperoleh pada saat-saat musim liburan Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan tahun baru. Selama kurang lebih 8 tahun, pemerintah desa Wakumoro mengelola obyek wisata Fotuno Rete dan Pasar Desa dengan cara sembunyi-sembunyi alias tidak transparan.

Tidak berhenti sampai pada rencana perubahan status desa Wakumoro menjadi Kelurahan, menghadapi musim lebaran tahun 2008 ini, Pemkab Muna sudah berencana untuk mengambil alih pengelolaan 2 aset desa tersebut (Pasar Desa dan Obyek Wisata Fotuno Rete). Namun hal tersebut secaa tegas mendapat resistensi dari masyarakat Desa Wakumoro.

“Kami dapat informasi bahwa Pemkab berencana akan melibatkan Polisi Pamong Praja dan Polres untuk memungut retribusi obyek wisata Fotuno Rete tahun ini, masyarakat sudah siap untuk menghadang rencana tersebut. Masyarakat sudah mulai membayangkan bahwa tragedi ”Kontu Berdarah” akan kembali terulang di Desa Wakumoro jika Pemkab tetap memaksakan kehendaknya untuk mengambil alih pengelolaan obyek wisata permandian Fotuno Rete”,...La Ode Kainu (Ketua BPD reformasi)

”...Tidak ada lagi tawar-menawar dan masyarakat sudah siap dengan segala konsekuensi apa-pun demi untuk mempertahankan warisan leluhur kami, jadi jangan coba-coba mengambil alih aset-aset desa kami. Biarkan kami sendiri yang mengurus dan mengelolanya sendiri untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga Desa Wakumoro...”ceramah Ibu Maulid (ketua PKK desa wakumoro) didepan ratusan ibu-ibu pada kegiatan kerja bakti mingguan

Ditengah usaha untuk mewujudkan otonomi desa yang bertumpu pada potensi sumber daya sendiri, Pemkab Muna malah ingin mengambil alih pengelolaan aset-aset desa.

“...Mungkin Pemkab sedang kesulitan dana untuk membiayai pembangunan, karena sumber PAD sudah sangat terbatas, jadi mengambil alih pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi milik desa adalah salah satu cara untuk meningkatkan PAD, tapi jangan mimpi sumber daya alam milik Desa Wakumoro bisa di ambil alih oleh Pemkab...komentar La Ode Aswad (tokoh pemuda desa wakumoro).

Rencana pengambil alihan pengelolaan obyek wisata Fotuno Rete oleh Pemkab Muna spontan menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Seluruh warga kemudian menyatakan sikap menolak rencana Pemkab Muna dan akan melawan apapun yang direncanakan Pemkab untuk desa Wakumoro.

2 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, suasana di Desa Wakumoro makin menjadi tegang ketika tersiar kabar bahwa pada hari H lebaran tahun 2008 ini, obyek wisata Fotuno Rete akan dibebaskan dari pungutan retribusi. Dan untuk melakukan itu, Pemkab akan menurunkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP). Masyarakat kembali bersemangat untuk melawan niat Pemkab Muna itu.

“...coba-coba saja mereka (Pemda) lakukan itu, tidak ada pilihan lain kecuali membuat pertahanan untuk menghadang kehadiran Sat Pol PP itu, kita siapkan segala perangkat perang sebagai senjata kita semua, ..... komentar anak-anak muda desa.

Sebelumnya telah dilakukan 4 kali pertemuan di lingkup Pemda Muna dengan agenda membahas tentang strategi dan taktik untuk mengambil alih pengelolaan obyek wisata Fotuno Rete di Wakumoro, karena Pemda sendiri sudah mendengar kabar akan adanya perlawanan dari masyarakat. Tidak satupun dari pertemuan-pertemuan tersebut melibatkan masyarakat Desa Wakumoro. Pernah aparat Desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda diundang oleh Sekdakab Muna untuk rapat di Raha untuk membahas tindak lanjut rencana pengambil alihan pengelolaan pasar desa dan obyek wisata desa wakumoro, namun tidak seorang pun yang mau menghadiri undangan tersebut.

“ buat apa kami hadir di sana, sejak awal rapat-rapat yang mereka lakukan kami tidak pernah dilibatkan, kenapa nanti sudah mau rapat terakhir baru kami di libatkan, jangan-jangan kehadiran kami hanya untuk melegitimasi rencana busuk Pemda Muna, jadi lebih baik kami tidak hadir karena suara mayoritas masyarakat juga menolak, jadi kami memilih tidak memenuhi undangan itu. Biarkan saja mereka rapat sendiri, nanti kita tunggu di sini (Wakumoro) saja....” kata La Ode Golkar (tokoh pemuda Desa Wakumoro yang mendapat undangan Pemda Muna).

Sebelumnya Pemda Muna mengirim surat kepada salah seorang tokoh masyarakat Desa Wakumoro. Surat dengan Nomor.....tertulis ditujukan kepada La Ode Ali Hanafi selaku penjaga mata air Fotuno Rete. La Ode Ali Hanafi sendiri merasa terkejut dengan surat tersebut, apalagi dikatakan sebagai penjaga mata air Fotuno Rete. Inti dari surat tersebut adalah meminta kepada La Ode Ali Hanafi untuk menghentikan pungutan retribusi pada obyek wisata Fotuno Rete. Dengan adanya surat tersebut, La Ode Ali Hanafi langsung menolak dengan membalas surat tersebut.

“...saya menolak perintah dalam surat itu, sebagai tokoh masyarakat Desa Wakumoro saya merasa dilecehkan oleh Pemda Muna. Saya tidak pernah ditunjuk oleh masyarakat atau pemerintah Desa Wakumoro untuk menjadi penjaga mata air Fotun Rete. Kenapa tiba-tiba Pemda Muna menunjuk saya sebagai penjaga mata air Fotuno Rete? Ini tidak betul, atas dasar apa Pemda menunjuk saya...” kata La Ode Ali Hanafi.

Pada musim lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, Desa Wakumoro kebanjiran tamu dari luar desa yang akan berkunjung ke obyek wisata Fotuno Rete. Saat-saat itu adalah bagaikan panen raya bagi masyarakat Desa. Ramainya desa melebihi ramainya kota Raha. Musim Lebaran adalah musim panen rejeki bagi desa. Suasana ramainya pengunjung di obyek wisata fotuno Rete bisa dilihat pada foto-foto terlampir.

Ketenangan suasana lebaran bagi masyarakat Desa Wakumoro tahun 2008 ini berubah menjadi ketegangan karena adanya rencana Pemda Muna untuk mengambil alih pengelolaan obyek wisata Fotuno Rete dengan menurunkan aparat Sat Pol PP di Desa Wakumoro. Aparat Polisi dari Polres Muna pun mulai disiagkan. Intel dari Polres dan Kodim mulai berkeliaran di dalam Desa.

Tanggal 29 pukul 20.00 Wita, diadakan pemutaran film, film yang diputar adalah film tentang perjuangan masyarakat kontu mempertahankan tanahnya. Ini atas permintaan warga sendiri. Seluruh peralatan pemutaran film di support oleh Perkupulan Swami. Dari permutaran film tersebut, masyarakat (terutama ibu-ibu) mendapatkan semangat baru tentang bagaimana berjuang melawan penindasan. Stretegi perlawanan kemudian mulai di susun, segala bentuk senjata mulai dipersiapkan seperti golok, tombak, panah, batu, kertapel, cabe rawit, pasir dan lain-lain. Ini dilakukan untuk melawan dan menghadang kehadiran Satuan Pol PP pada hari H lebaran.

Hari H lebaran Idul Fitri tiba, masyarakat bukannya disibukan dengan tradisi lebaran dimana ada moblitas kunjungan warga dari rumah kerumah untuk berjabat tangan saling memaafkan, namun sebaliknya kesibukan masyarakat untuk mempersiapkan perlawanan terhadap sikap arogan Pemda Muna. “...musim lebaran kali ini benar-benar terganggu dan tegang...ujar salah seorang warga.

Masyarakat mulai berkumpul di simpangan pasar Desa, tidak memilih usia, mulai dari nenek-kakek, sampai dengan anak usia 8 tahun disiagakan, karena kabar yang beredar bahwa aparat sot Pol PP akan segera hadir di Desa Wakumoro. Sebanyak 100 orang aparat Polisi dari Polres Muna dengan menumpang mobil Dalmas mulai disiagakan di Desa Wakumoro. Aparat Polisi membuka tenda (Base Camp) khusus di dekat mata air Fotuno Rete.

Tepat pukul 14.00, 50 orang aparat Sat Pol PP tiba di desa Wakumoro, dengan menumpang 1 mobil kijang patroli Pol PP dan 1 mobil fuso. Polisi dengan sigap segera mencegat kehadiran mereka sekitar 200 meter dari simpangan empat (Pasar Desa). Selanjutnya komandan regu Sat Pol PP digiring oleh Polisi untuk bertemu dengan Kepala Desa non aktif (Kadhafi) bersama tokoh-tokoh masyarakat Desa Wakumoro. Saat itu kebetulan Kapolres Muna juga berada di Desa Wakumoro (tepatnya berada di base camp Polisi) untuk memantau langsung perkembangan di Desa Wakumoro. Saat itu dirumah Kadhafi sedang berkumpul sejumlah tokoh-tokoh masyarakat, menunggu kehadiran Kapolres Muna yang akan singgah minum kopi sambil diskusi-diskusi kecil.

Pimpinan Sat Pol PP yang dikawal sejumah aparat Polisi datang bertemu dengan Kadhafi dan tokoh-tokoh masyarakat dirumah Kadhafi. Pimpinan Sat Pol PP kemudian menceritakan ihwal kehadirannya bersama 50 orang aparatnya di Desa Wakumoro. berikut kutipan pernyataan pimpinan Sat Pol PP :

“ kami datang disini atas perintah Bupati Muna untuk menyampaikan kepada masyarakat Wakumoro bahwa untuk sementara obyek wisata Fotuno Rete akan dibebaskan dari pungutan retribusi bagi pengunjung, ini dilakukan sebagai hadiah lebaran Bupati Muna kepada masyarakat Muna yang akan berkunjung ke obyek wisata tersebut. Disamping itu kami melaksanakan Peraturan Daerah Kab. Muna tentang pengelolaan retribusi obyek wisata di Kab. Muna...”

Pimpinan Sat Pol PP kemudian mengambil dan memperlihatakan Perda yang dimaksud kepada Polisi dan tokoh-toko masyarakat. Secara kebetulan saat diskusi tersebut ada Pak Mahmud, SE (anggota DPRD Kab. Muna). Spontan Mahmud meminta dan memeriksa Perda tersebut.

“ selama saya jadi anggota DPRD Muna, kami belum pernah membahas dan menetapkan Perda tentang Retribusi obyek wisata, termasuk di Wakumoro, saya tidak tahu perda ini buatan siapa dan kapan disosialisakan kepada masyarakat, jangan-jangan Perda ini baru di konsep tadi malam dan dibuat tanggal dan tahun mundur..” kata Mahmud dengan penuh keheranan.

Ternyata setelah diperiksa, Perda yang dimaksud adalah produk tahun 2003 (sebelum Mahmud menjadi anggota DPRD). Perda tersebut juga tidak secara spesifik menyebut Fotuno Rete di Wakumoro sebagai obyek wisata di Kab. Muna. Selama Desa Wakumoro dibentuk tahun 1998, perda tersebut tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat maupun pemerintah desa setempat.

Saat pimpinan Sat Pol PP ditanya oleh La Ode Ali Hanafi (tokoh adat/tokoh masyarakat Desa Wakumoro) apakah perintah Bupati Muna untuk membebaskan pengunjung dari pungutan retribusi berlaku untuk seluruh obyek wisata di Kab. Muna, pimpinan Sat Pol PP menjawab, Tidak. “ perintah ini hanya dikhususkan untuk obyek wisata Fotuno Rete di Wakumoro...” ujar Arifin (pimpinan Sat Pol PP). Spontan semua orang yang ada dalam pertemuan itu tertawa dalam luapan emosi yang terkendali.

Selajutnya, Pimpinan Sat Pol PP itu diserang dengan sejumlah pertanyaan. Salah satunya adalah yang disampaikan La Ode Sirad Imbo (sesepuh/tokoh masyarakat Wakumoro).

“...apakah bapak membawa surat perintah dan surat tugas secara tertulis...?” Ujar Sirad Imbo. Jawabannya adalah TIDAK

Sirad Imbo kembali melanjutkan ceritanya “....Aneh bin ajaib. Hanya untuk menyampaikan perintah Bupati harus dengan membawa kekuatan 50 orang aparat Sat Pol PP, padahal pemberitahuan seperti itu sangat mungkin hanya disampaikan oleh seorang kurir surat saja. Sebaliknya, dalam kondisi ketegangan yang cukup tinggi, ditengah kondisi masyarakat yang marah, sangat berani membawa 50 orang aparat Sat Pol PP di Wakumoro, jika terjadi kerusuhan dan korban jiwa, siapa yang akan bertanggung jawab, Bupati Muna pasti lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab.

Seketika cuaca diluar rumah berubah menjadi hujan deras. Pimpinan Sat Pol PP bersama La Ode Sirad Imbo kemudian bergegas keluar rumah untuk menemui Kaplores yang sedang berada di Base Camp Polisi dengan menggunakan mobil.

Dalam tempo 15 menit kemudian dan dalam kondisi hujan deras, tiba-tiba terdengar informasi bahwa sekitar 2000 orang massa menyerbu kerumunan Sat Pol PP. Aparat Polisi yang ditugaskan tidak berdaya menghalau amarah massa. Massa yang sebelumnya berkumpul di sekitar simpangan Pasar Desa, keluar ke jalan raya menyerbu kelompok Sat Pol PP yang berada sekitar 200 meter dari simpangan Pasar Desa Wakumoro. Atas kejadian tersebut 1 buah mobl patroli milik Sat Pol PP dirusak massa, 1 orang anggora Sat Pol PP luka parah terkena lemparan batu, sementara anggota Sat Pol PP lainnya lari menyelamatkan diri.

... saya tidak membayangkan ada banyak massa yang menyerbu, memenuhi jalan dalam guyuran hujan deras. Saya lihat massa tidak saja dari masyarakat desa Wakumoro tapi juga berasal dari beberapa desa Tetangga. Kalau hanya masyarakat desa Wakumoro mungkin hanya sekitar 400 orang, selebihnya masa berasal dari luar desa...” kata La Ode Muh. Asri (tokoh masyarakat Desa Wakumoro) yang menyaksikan gerakan spontanitas massa dari balik jendela rumahnya.

Situasi keamanan kemudian bisa diredakan, setelah Kapolres Muna memerintahkan agar aparat Sat Pol PP segera dipulangkan ke Raha. Akhirnya aparat Sat Pol PP dipulangkan ke Raha, massa kemudian menjadi tenang. Setelah itu dilakukan pertemuan singkat antara tokoh-tokoh masyarakat Desa Wakumoro dengan Kapolres Muna. Dalam pertemuan sekitar 20 menit itu, Kapolres Muna berjanji akan menyampaikan permintaan/tuntutan masyarakat Desa Wakumoro kepada Bupati Muna.
Malam hari terdengar kabar bahwa esok hari (tanggal 2 Oktober) aparat Sat Pol PP akan kembali ke Desa Wakumoro untuk menjalankan perintah Bupati. Atas informasi tersebut, masyarakat kembali bersiap untuk menghadapi kehadiran aparat Sat Pol PP.

Tanggal 2 Oktober, sejak pagi masyarakat mulai berkumpul di sekitar simpang empat Desa Wakumoro. sampai dengan siang hari, ternyata kabar tentang kedatangan aparat Sat Pol PP tidak benar. selanjutnya kembali terdengar kabar bahwa tanggal 3 Oktober para pejabat Muspida akan berkunjung ke Desa Wakumoro (Bupati, Kapolres, Dandim). Kabar tersebut datang dari aparat intel Polres Muna yang disampaikan kepada Kades non aktif (Kadhafi) dan La Ode Sirad Imbo. Aparat Polisi meminta pertimbangan dan jaminan keamanan atas rencana kehadiran Bupati Muna. Namun Kadhafi dan Sirad Imbo tidak memberikan jaminan keamanan karena sikap masyarakat yang tidak mau menerima pejabat dari Pemda Muna.

“...silahkan saja Bupati datang ke Desa Wakumoro, tapi kami tidak bisa menjamin keamanannya. Masyarakat kelihatannya sedang marah besar dengan pejabat Pemda Muna...” ujar La Ode Sirad Imbo.

Namun pada akhirnya Bupati Muna tidak jadi datang ke Desa Wakumoro, mungkin karena menerima pertibangan dari pihak kepolisian. Kalau saja Bupati Muna memaksakan diri untuk datang, tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat itu. Bisa jadi tragedi berdarah 60 ahun yang lalu ketika Raja La Ode Pandu ditembak mati oleh gerombolan di Kosundano akan terulang kembali. Kebetulan juga La Ode Pandu adalah mertua dari Bupati Muna Ridwan Bae.

Read More...

Rabu, 29 Juli 2009

Pemanasan Pilkada Muna Sudah Dimulai

Kendari Ekspres, 25 Mei 2009
Jreeeng... jreeng…..Pak dokter menggebrak festival musik. Ia membuat pemanasan suksesi bupati dengan ritme rock. Seolah menyampaikan pada masyarakat Muna bahwa ia sedang bergairah dan siap menuju puncak.

Catatan: Ishak Junaidy (Wartawan Kendari Ekspres)

Di tengah grasak-grusuk Pilpres, menyeruak gonjang-ganjing Pilbup yang nuansanya justeru lebih kental. Maklum, Muna harus menggelar Pilkada tahun depan menyusul masa jabatan Ir Ridwan berakhir tahun 2010. Ridwan sudah menjalani dua periode yang dijatahkan UU.

Peta Pilbub sedikit menggeser topik diskusi Pilpres menyusul tiga malam berturut-turut, Jumat (22/5)-Minggu (24/5), kota Raha diguncang festival musik rock yang digelar di lapangan Kayu-kayu, Bay Pass. Iven ini menjadi luar biasa karena ada embel-embel BFC di dalamnya. Baharuddin Fans Club, salah satu atribut tim sukses LM Baharuddin MKes, penyelenggaran kegiatan ini.

Sebagaimana ramalan banyak orang, segera setelah baliho Caleg rebah, akan bermunculan baliho cabup satu persatu. Bahkan ditengah keramaian iklan Caleg pada Pilcaleg lalu, Baliho cabup sempat menyelipkan diri diantaranya. Sebut saja La Ode Kilo, La Ode Mbaliada dan dr LM Baharuddin MKes. Beberapa calon, seperti Kardini SE, terkesan masih malu-malu mejeng di reklame kota, tapi posenya bergerilya dalam bentuk kalender yang tersebar dimana-mana.

Figur lain semisal La Ode Rajiun Tumada Ilaihi MSi, yang pernah booming dan menggoncang panggung Pilkada 2005, juga belum memperlihatkan gerakan-gerakan yang menyolok. Padahal banyak orang merindukan kembalinya figure yang satu ini, terutama kaum muda.

Mantan juara Karate ini diterima jangkaun pikir anak dueker, bisa dicerna intelektual jalanan, nuraninya masih pure made ini mahasiswa, pola pikir akademisi, dan tindakannya tidak kalah dengan kebijaksanaan orang tua atau dituakan. Suatu saat Ia bisa terlihat sangat kekanakan, tapi disaat tertentu ia bisa terkesan lebih matang dari usianya.

Itlah wacana figure yang terlanjur bergulir sejak lama. Peta figure terakhir kali cukup mengejutkan seiring wacana pemekaran yang berhembus akhir-akhir ini. Figur yang dahulunya hanya bercita-cita menjadi wakil bupati, tiba-tiba menyelonong ke pembicaraan Cabup. Uking Djassa SH, Zakarudin SE MSi, Drs La Nika, kini mulai nyaring disebut-sebut mempersiapkan diri untuk No.01 kabupaten pemekaran.

Kejutan tidak sampai disitu saja, karena sejumlah nama baru bermunculan dengan cita-cita yang sama. Sebut saja La Ode Mukadimah Msi, mantan Kepala BKD yang kini menjabat Kadishut, La ode Syafiudin MSi atau lebih dikenal dengan La Esa, pejabat Kadis Diknas. Bahkan wacana ini juga menyeret AKP H LH Darwin, Kasat Samapta Polres Muna, yang digadang-gadang untuk bupati pemekaran Kabupaten Muna yang memang berasal dari sana.

Hanya saja memang, kemunculan figure baru itu seluruhnya lahir untuk pemekaran. Peta dalam kota tidak terganggu, hanya sedikit mengalami bias. Masih tetap Baharuddin, Kilo dan Mbaliada. Tapi nama Mbaliada belakangan samar sejalan dengan meroketnya nama Rusman Emba. Uman, sapaan akrabnya, semakin melambung pamornya setelah Pilcaleg baru-baru ini mecatat perolehan suara tertinggi DPRD Sultra untuk Dapil Muna-Butur.***

Read More...

Bantuan Rp 100 Juta Per Desa Kok Belum Cair !

Belum ada kabar terbaru kapan bantuan Rp 100 Juta per desa dicairkan. Padahal sudah memasuki bulan ke tujuh tahun 2009. Janji dicairkan setiap triwulan dari Pemprov Sultra, hanya tinggal janji.

Jika sebuah fisi dan misi masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maka statusnya, wajib dijabarkan melalui APBD. RPJMD, sebuah Peraturan Daerah (Perda). APBD juga demikian. Keduanya diputuskan antara Eksekutif (pemerintah daerah) dan Legislatif (DPRD).

Catatan : Muh Abdul Majid, Kendari

Bantuan Rp 100 juta per desa/kelurahan, termasuk salah satu visi dan misi pasangan gubernur Nur Alam -Saleh Lasata (Nusa) sebelum menjadi gubernur. Ketika pasangan ini menjadi pimpinan daerah, maka otomatis visi dan misi itu harus masuk RPJMD. Dan memang itu terbukti. DPRD Sultra bersama Pemprov Sultra, memasukan visi ini dalam RPJMD Sultra 2008-2013, dan menjadi salah satu rujukan dalam membahas APBD Sultra kurun waktu 2008-2013.

Tetapi, yang menjadi catatan, sampai dengan bulan ke tujuh tahun 2009, bantuan Rp 100 juta per desa/kelurahan itu belum dicairkan. Padahal bantuan yang diberikan dalam bentuk "Block Gran" itu sudah dibahas di APBD 2009. Bahkan kesepakatan DPRD dan Pemprov Sultra, bantuan diberikan secara bertahap, tiap tiga bukan sekali. Total setiap triwulan sebanyak Rp 25 juta.

La Pili, anggota DPRD Sultra asal PKS pernah meminta Pemprov Sultra segera mencairkan bantuan Rp 100 juta per desa itu. Ia megatakan, bantuan tersebut adalah hak masyarakat, sebab sudah menjadi kesepakatan antara Pemda dengan DPRD Sultra. "Tidak ada alasan menunda pencairan dana bantuan Rp 100 juta per desa, karena ini sudah kesepakatan bersama," ujarnya.

Ketua Fraksi PKS DPRD Sultra ini mengungkapkan, mengapa dana bantuan desa Rp 100 juta, masih dikalahkan oleh perjalanan dinas dari eksekutif. Catatan yang dia dapat katanya perjalanan eksekutif lebih banyak jika diobanding pencairan bantuan desa.

"Saya melihat lebih banyak perjalanan dinas eksekutif dibanding memberikan bantuan Rp 100 juta per desa," jelasnya.

Menurutnya, Pemprov tidak boleh menahan dana bantuan desa/kelurahan ini, karena dana tersebut merupakan hak masyarakat " Coba saja tengok didesa-desa, mereka selalu mempertanyakan kapan realisasi bantuan Rp 100 juta per desa. Malah sudah ada yang mereka lakukan demi mendapat bantuan itu," ungka La Pili, yang juga disebut-sebut bakal maju di Pilkada Muna 2010 mendatang.

Pernyataan itu langsung di jawab Gubernur Sultra Nur Alam. Ia mengatakan bantuan Rp 100 juta per desa tidak ditahan, tetapi sedang merancang format baru, bagaimana model penggunaan anggaran itu. "Fokusnya nanti pemberdayaan masyarakat. Jadi bukan lagi Kepala Desa atau Lurah yang mengendalikan anggaran, tetapi dikelola secara bersama," ujarnya.

Nur Alam memberi soal pemberdayaan masyarakat, misalnya jika sebuah desa fokus pada ternak Kambing atau Sapi, maka modal itu kita berikan untuk pengembangan ternak. Begitu juga dengan desa lain yang fokus perikanan, maka dana itu kata Nur Alam akan diberikan untuk penguatan modal juga.

"Jadi bukan menahan anggaran, tetapi kita ganti sistimnya (cluster-red). Jika block grant desa, sebelumnya banyak kebentuk fisik, maka dalam cluster baru, khusus tahun 2009 ini, dikembangkan dalam model lain, misalnya pemberdayaan ekonomi masyarakat desa," ujarnya.

Banyaknya masalah yang muncul saat pencairan 2008 lalu, juga menjadi alasan Pemprov Sultra mengganti format pencairannya. Diantaranya, dominasi Kades dan Lurah masih sangat kuat dalam penggunaan anggaran, dan pertanggungjawaban penggunaan dana block grant belum terlaksana sesuai Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis).

Boleh saja Pemprov Sultra berdalih ingin mengganti format bantuan termasuk Juklak dan Juknis. Tetapi bantuan itu seharusnya cair setipa tiga bulan sesuai kesepakatan antara DPRD dan Pemprov Sultra. Namun, dipastikan ratusan Kepala Desa (Kades) masih terus menunggu bantuan itu. Seperti ungkapan Kades Ghonebalano Kecamatan Duruka Kabupaten Muna Budiman. ia mengaku masih menunggu bantuan itu. "Hanya sampai sekarang belum ada relisasinya," ujarnya. Sepertinya para Kades se-Sulltra harus bersabar dan menunggu kapan realisasi bantuan itu cair.***

Read More...

Tambak Oensuli Potret Buruk Kebohongan

Kendari Kespres, 15 Desember 2008
*Gema tambak Oensuli laksana meteor politik. Dia mampu melahirkan asumsi dan opini yang berkutat, bukan pada realita, tapi sebuah kebohongan yang bernada fals. Namun publik terlanjur melihat sebagai pelanggaran yang sistimatis. Karena terjadi manipulasi yang telanjang terlihat, dia tak memberi ruang kepada warga yang seharusnya menikmati, sebagai kenikmatan bertransmigrasi. Karena sejumlah haknya telah dirampas, sebuah hal yang menjijikan, karena pelanggaran terjadi didepan mata. Lantas siapa yang bertanggungjawab.

Catatan: M Syahrial Ashaf (Wartawan KEndari Ekspres)

Kejaksaan cukup proaktif dengan telah melakukan pemeriksaan kepada sejumlah pejabat yang memiliki akar keterkaitan dengan tambak Oensuli. Sebuah sikap yang berani dan pantas diberi pengakuan, bahwa kejaksaan Muna tanggap dan berani.

Hal yang mendapat sorotan tajam, terletak pada penguasaan lahan tambak. Bukan pada tingkat keberhasilan tambak tersebut. Karena dinas perikanan telah melakukan ekspose bahwa setiap panen, maka keuntungan yang didapat petani sekitar Rp 20 juta, namun fakta ini tak terjadi. Artinya program tambak Oensuli ini yang merupakan kemanunggalan dinas perikanan dan transmigrasi adalah proyek pepesan kosong. Karena sampai saat ini, belum satupun petani tambak yang telah mendapatkan hasil Rp 20 juta sekali panen, sesuai gembar gembor dinas perikanan. Artinya, kepemilikan lahan menjadi isu sentral. Dan fakta keberhasilan kegagalan petani tambak menjadi terabaikan. Padahal seharusnya kejaksaan lebih fokus kepada kegagalan petani tambak, sebab petani tambak yang datang dari Pulau Jawa, pada awalnya diiming-iming langsung menebar benih, namun fakta yang terlihat, tambak belum siap, sehingga kekesalan tergambar di wajah-wajah petani tambak yang juga transmigrasi dari Jawa.

Oensuli telah menjadi sebuah kawasan yang menjanjikan harapan. Sehingga jalan menuju tambak lebih bagus ketimbang Raha-Tampo. Dan setiap hari atau akhir pekan, mobil-mobil plat merah dengan anggunnya memasuki kawasan tambak Oensuli. Yang jelas Oensuli telah menjadi surga kedua di Muna.

Pertanyaan yang sering terlontar. Apakah benar sejumlah pejabat di Pemkab Muna menguasai lahan tambak, yang peruntukannya seharusnya untuk rakyat?

Jawabannya adalah dari 150 hektar kawasan tambak Oensuli yang masuk peta peruntukannya untuk transmigrasi, semuanya ditempati transmigrasi. Yang sampai hari ini belum menikmati keuntungan, seperti sesumbar dinas perikanan. Artinya, secara prosedur, lahan 150 hektar, peruntukannya telah diberikan kepada transmigrasi. Namun genset yang seharusnya diberikan kepada petani tambak yang menempati areal 150 hektar, menjadi tak jelas. Bahkan disinyalir jumlah genset yang harus diberikan kepada petani sesuai kontrak jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah transmigrasi yang menggarap 150 hektar dan ini sesuai kontrak. Padahal pengadaan itu telah dihitung harus mencukupi semua petani. Dan sejumlah pejabat Pemkab Muna hanya mengolah tambak diluar kaplingan 150 hektar, namun masih dalam wilayah desa Oensuli.

Panglima hukum untuk menegakkan aturan dalam menangani masalah tambak Oensuli, telah mulai dilaksanakan, dan ini sebuah realitas. Bahwa hukum harus ditegakkan, siapapun yang dengan sengaja ingin menguasai lahan tambak di Oensuli, yang proses kepemilikannya melabrak aturan, wajib untuk dituntut sesuai hukum. Artinya, jika ada pejabat Muna yang ketahuan memiliki atau menguasai tambak pada kawasan 150 hektar, wajib untuk diproses.***

Read More...